Paradigma Pluralisme Agama
Sumber gambar: Ahli Fikir

Wisataku Literasi Di Barat, pluralisme dianggap sebagai suatu aliran filsafat atau ideologi politik. Mereka menyatakan bahwa semua agama dianggap sama dan tidak ada yang dianggap lebih benar dari yang lain. John Hick adalah salah satu teolog dan filsuf inggris yang juga menganut paham pluralisme agama. Menurutnya, kebenaran agama harus diakui di berbagai agama selain Kristen dengan tingkat kesamaan sebagaimana dalam agama Kristen. John Hick mengamati bahwa masalah ini tidak hanya terkait dengan agama Kristen, tetapi juga berlaku untuk semua agama besar.[1] 

Pandangan John Hick tersebut, tampaknya menuai kritik dari pemikir Barat lainnya yang tidak sepakat dengan pandangan John Hick atas pluralisme agama. Huns Kung menyatakan bahwa walaupun kita harus mengakui, menghargai, mengapresiasi, dan menghormati kebenaran dari agama-agama lain, namun ia menegaskan bahwa iman Kristen tidak boleh direduksi menjadi kebenaran umum seperti pendekatan yang dilakukan oleh John Hick.[2]

Selain pandangan kedua tokoh pluralisme barat diatas, Sayyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi'ah yang moderat, juga berkontribusi dalam mengenalkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional. Baginya, perbedaan antara agama atau keyakinan hanyalah pada aspek simbolik dan penampilan luar, sementara esensi dari agama tetap satu.[3] 

Selain Sayyed Hossein Nasr, Gamāl al-Bannā juga berpihak kepada pluralisme agama, ia menjelaskan prinsip-prinsip pluralisme agama dalam bukunya al-Ta’addudīyah fī al-Mujtamaal-Islāmi.[4] Begitupun dengan Abdul Aziz Sachedina yang menulis buku The Islamic Roots of Democratic Pluralism, yang mengupas ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan dan mendukung gagasan pluralisme agama.[5]

Salah satu tokoh Muslim yang dianggap paling keras menentang pluralisme agama adalah Sayyid Qutb, ia memiliki pandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan harus menjadi satu-satunya sistem hukum dan kepercayaan yang berlaku secara universal. Sebab menurutnya, mendirikan kekuasaan Allah dimuka bumi harus dengan menghapuskan kekuasaan manusia, mengambil kembali kedaulatan dari para penyusup untuk mengembalikannya kepada Allah dan menerapkan hukum Ilahi (syariat) serta menghapus hukum-hukum buatan manusia yang tidak dapat dicapai dengan hanya berkhotbah saja.[6]

Dari pandangan Sayyid Qutb inilah penulis mulai mengerti mengapa ia dianggap sebagai tokoh yang tidak toleran karena pandangannya dinilai sangat radikal tentang negara dan Masyarakat yang menurutnya harus diatur secara ketat berdasarkan interpretasi dan penerapan hukum-hukum Islam. Namun, penulis menemukan salah satu penafsiran beliau dalam tafsirnya Fi ilālil Qur’ān yang justru mencerminkan sikap toleran, yaitu terkait QS. al-Baqarah ayat 62. Menurutnya, ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian dari semua kelompok tersebut dan beramal shaleh, maka mereka akan mendapatkan pahala mereka di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan dan kesedihan atas mereka. Oleh karena itu, esensinya adalah dalam keimanan yang sejati, bukan fanatisme suku atau bangsa. Dan ini tentu saja sebelum kenabian Muammad. Setelahnya, bentuk iman yang terakhir telah ditetapkan.[7] Tapi walaupun begitu, dia tetap mendapatkan kritik dari kalangan Islam sendiri yang memahami bahwa Islam mengajarkan untuk menghormati dan menghargai agama lain tanpa harus memusuhinya dan tetap meyakini bahwa satu-satunya ajaran yang benar adalah agama Islam. Pandangan ini tidak mengakibatkan kerusakan dalam hubungan antar sesama umat manusia. Di mana pun berada, kaum Muslim tetap dapat hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, sejak berdirinya Negara Islam di Madinah.[8]

Gus Dur terkait pandangannya dalam pluralisme agama Menurutnya, pluralisme agama adalah sebagai pandangan yang mengakui dan menghargai keragaman identitas, seperti suku, agama, budaya, dan ras. Pluralisme agama bukanlah usaha untuk menyamakan semua agama, karena setiap agama memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing. Gus Dur menegaskan bahwa pluralisme agama seharusnya menjadi sarana bagi manusia untuk memahami anugerah Tuhan, menciptakan toleransi, dan harmoni dalam kehidupan, bukan sebagai sumber konflik.[9]  

Farid Esack menjelaskan bahwa pluralisme agama adalah sikap mengakui dan menerima keberagaman serta perbedaan, baik di antara sesama pemeluk agama maupun terhadap penganut agama lain. Pandangan ini lebih inklusif daripada sekadar toleransi. Dalam konteks agama, pluralisme berarti mengakui dan menerima perbedaan dalam cara menanggapi dorongan-dorongan, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, yang mengarah kepada Yang Transenden.[10] Menurut Esack, Al-Qur’an menyajikan perspektif ketuhanan yang universal dan inklusif, merespons ketulusan dan komitmen semua hamba Tuhan. Al-Quran juga mengajarkan sikap pluralis dan mengutuk sikap eksklusivisme agama yang sempit, seperti yang ditunjukkan oleh kaum Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi Muammad di Hijaz. Mereka menghina orang di luar kelompok mereka, terutama kaum yang lemah. Al-Qur’an menyatakan bahwa penghinaan terhadap kelompok lain berasal dari kesombongan atau klaim kebenaran mereka karena merasa sebagai umat pilihan Tuhan.[11]

Pemikiran Farid Esack ini tampaknya di latar belakangi oleh pengalaman pahit menjadi seorang Muslim minoritas di Afrika Selatan, yang membuatnya menyadari betapa tidak nyamannya menjadi bagian dari minoritas tersebut. Minoritas sering mengalami perlakuan kasar dan penindasan. Hal yang sama juga terlihat oleh Esack melalui pengalaman teman-temannya yang menjadi minoritas Hindu dan Kristen di Pakistan. Itulah saat Esack merasakan kekhawatiran mereka di negara Pakistan, di mana mereka sering menghadapi diskriminasi sosial dan pelecehan agama.

Esack berdasarkan pemahamannya tentang kerjasama dan solidaritas antar umat beragama, merujuk pada kisah Eksodus, yaitu kisah keluarnya Bani Israel dari Mesir, yang terkait dengan posisi kaum tertindas. Beberapa surat dalam Al-Qur’an juga menyampaikan hal serupa. Kisah ini memiliki signifikansi karena menekankan pentingnya kebebasan politik bagi manusia, terlepas dari keyakinan agama mereka. Meskipun dalam Al-Qur’an digambarkan bahwa Bani Israel bukanlah kaum yang beriman, tetapi mereka ditolong oleh Allah melalui nabi Musa karena mereka telah mengalami penindasan. Pengalaman sebagai "mustaḍ‘afun" (orang yang tertindas) yang dialami oleh Bani Israel karena kesewenang-wenangan Fir'aun dan penguasa Mesir, mencerminkan pentingnya posisi yang diberikan Tuhan bagi kaum yang tertindas.

Dari penjelasan tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa Gus Dur dan Esack menolak pluralisme agama sebab pluralisme agama menurutnya bukan menyamakan semua agama tapi lebih menekankan sikap toleransi dan harmoni dalam kehidupan.

Dari pemaparan tersebut diatas, penulis memandang bahwa perbedaan antara pluralisme agama yang diusung oleh beberapa pemikir Barat kemudian diaminkan oleh sebagian pemikir Muslim dan pluralisme agama yang diusung oleh beberapa pemikir Muslim yang penulis telah uraikan diatas adalah mereka pemikir Barat dan sebagian pemikir Muslim mempopulerkan pluralisme agama yaitu dengan prinsip mengakui semua agama benar, menghargai kebenaran agama-agama lain dan membangun sikap toleransi seperti, John Hick, Huns Kung, Sayyed Hossein Nasr, dan Gamāl al-Bannā. Sedangkan, pluralisme agama yang diusung oleh sebagian pemikir Muslim adalah menolak adanya kebenaran semua agama sebab tidak ada dualisme kebenaran. Namun tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yaitu saling menghargai dan menghormati atas adanya perbedaan. Mereka yakin bahwa agama yang benar adalah agama yang diridai Allah Swt yang telah diturunkan kepada Nabi Ibrahim, Musa, Isa dan kemudian disempurnakan oleh Nabi Muammad Saw yaitu Agama Islam.

Referensi:

[1] John Hick, Religious Pluralism (oxford: Blackwell, 1997), 612-613.
[2] Huns Kung, On Being a Christian (New York: Doubleday & Company, 1974), 112.
[3] Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (Depok: Kelompok GEMA INSANI, 2005) Cet. I, 24. Untuk lebih lengkapnya silahkan merujuk kepada sumber aslinya. Lihat, Sayyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (Lahore: Suhail Academy, 1994), 16.
[4] Gamāl al-Bannā, at-Taaddudīyah fī al-Mujtamaal-Islāmi (al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Islami, 2001)
[5] Abdul Aziz Sachedina, The Islamic Roots of Democratic Pluralism (New York: Oxford University Press, 2001).
[6] Lihat ebook, Syed Qutb Shaheed, Milestones, 44-45.

Teks Inggrisnya sebagai berikut:

The establishing of the dominion of God on earth, the abolishing of the dominion of man, the taking away of sovereignty from the usurper to revert it to God, and the bringing about of the enforcement of the divine Law (Shari`ah) and the abolition of man-made laws cannot be achieved only through preaching.

[7] Sayyid Qutb, Fi ilālil Qur’ān (Beirut: Dār al-Shurūq, 1972) Jilid. 1, 75.

Teks arabnya sebagai berikut:

و الآية تقرر أن من آمن باللّه و اليوم الآخر من هؤلاء جميعا و عمل صالحا، فإن لهم أجرهم عند ربهم، و لا خوف عليهم و لا هم يحزنون. فالعبرة بحقيقة العقيدة، لا بعصبية جنس أو قوم .. و ذلك طبعا قبل البعثة المحمدية. أما بعدها فقد تحدد شكل الإيمان الأخير

[8]Fawzan Misra al-Mahmudi, At-Ta‘dudiyyah Baina al-Wāqi‘iyyah al-Mujtamā‘iyyah Wa al-Tayārāt al-Fikriyyah al-Falsafiyyah, dalam Jurnal al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman (Vol. 4, No. 2, 2005), 175.[9] Maman Immanulhaq Faqieh, Fatwa dan Canda Gus Dur (Jakarta: Kompas, 2010), 145.

[10] Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, diterjemahkan oleh Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000). 21.

[11] Farid Esack, Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme; Membebaskan Yang Tertindas, diterjemahkan oleh Watung A. Budiman, 201-203.