Part 20
Terungkapnya Fakta
Mahen:
Udah
bangun? |
Senyum Ema
membaca chat dari Mahen. Rasanya,
dunia yang dia tinggali saat ini berubah drastis, semuanya terasa indah pagi
ini, tidurnya semalam juga sangat nyenyak. Penderitaan yang selama ini hadir
dalam jiwanya seolah lenyap saat mengenal Mahen. Ema membalasnya cepat.
Ema:
Udah. |
“Buruan dimakan
Asyifa, nanti Mama telat!”
“Mah, Kak Ema
aneh,” bisik Asyifa, rupanya dari tadi memperhatikan Ema.
“Aneh kenapa?”
tanya Tante Anty.
“Dari tadi
senyum-senyum sendiri, Mah,” jawab Asyifa.
Mendengar hal
itu, Tante Anty langsung menegur Ema.
“Chat-an sama siapa sih, Em?” tanya Anty.
Ema kaget dan
segera meletakkan Hp-nya, tapi balasan chat masuk lagi dan Ema hanya membiarkannya, rencananya akan dibalas
nanti.
“Tante sama Asyifa,
berangkat ya. Belajar yang baik di sekolah!”
“Iya, Tan,” balas
Ema sembari mencium tangan Tante Anty.
Mahen:
Udah
berangkat ke sekolah? |
Ema membuka chat-nya setelah 10 menit kemudian.
Ema:
Ini
lagi siap-siap nyalain motor, kamu di mana? |
Aku
sudah di sekolah dari tadi. |
Balas Mahen yang secepat kilat berbeda dengan
Ema membalasnya beberapa menit kemudian.
Ema:
Tumben
mimpi apa semalam? |
Mahen:
Mimpiin
kamu sayang. |
Wajah Ema
memerah membaca chat itu dia hanya
membalasnya dengan emoticon senyum
sembari mengingat momen Mahen menyatakan cintanya kemarin. Dia tidak menyangka
bisa berpacaran dengan cowok menyebalkan itu. Ema tidak lagi membalas chat Mahen, dia segera menuju sekolah.
***
Kelas tampaknya
5 menit lagi akan mulai, dari tadi Mahen menunggu Ema di kelas tapi Ema tak
kunjung datang.
“Pak Dadang
datang…” teriak Linda yang berlari masuk ke kelas.
“Itu anak
kemana ya?” gumam Mahen.
“Ki, Ema
kemana?” tanya Mahen kepada Kirana.
“Gue juga ga
tau, Hen. Tadi, dia bilang otw,” jawab Kirana.
Mahen mulai
kawatir, seharusnya Ema sudah sampai. Tapi, dia tidak datang juga. Mahen
kawatir terjadi sesuatu dengan Ema. Mahen kemudian berlari keluar dari kelas
untuk mencari Ema. Langkahnya kemudian terhenti setelah melihat Ema berjalan
bersama dengan Pak Dadang membawa buku paket menuju kelasnya. Mahen menarik
nafas lega.
“Kenapa lama
datangnya, bikin kawatir aja,” kesal Mahen.
“Hust…hust,” desis
Ema sembari menutup mulut Mahen dengan jarinya.
“Nanti aku
jelasin, belajar dulu. Aku tidak mau kita dihukum karena ribut,” sambung Ema.
“Siap sayang,”
balas Mahen.
“Hen …” Ema
menunduk malu dan sedikit takut. Tapi, untung saja suara Mahen tidak terdengar
jelas karena Pak Dadang sedang mengabsen.
Setelah Pak
Dadang mengabsen, dia kemudian memerintahkan untuk membuka buku paket. “Baik
anak-anak buka buku paketnya halaman 114.”
Seluruh siswa
membuka buku paketnya, tidak terkecuali Mahen. Ema yang melihat itu sedikit tercengang
melihat perubahan Mahen. Baru kali ini dia menyentuh buku paketnya, biasanya
dia hanya menatap buku paket itu lalu tidur.
Selama
pelajaran berlangsung, Mahen betul-betul serius. Ema terkagum-kagum dengan
kepintaran yang dimiliki Mahen, baru kali ini dia melihat Mahen dalam mode serius. Setiap pertanyaan dan soal
sulit yang diberikan oleh Pak Dadang dilibas habis oleh Mahen. Menariknya, jika
soal pertayan itu mudah di jawab oleh siswa, Mahen terlihat biasa saja dan
santai. Tapi, jika soal dari pertanyaan itu sulit dan teman-teman yang ada
dalam kelas tidak bersuara lagi karena tidak tau, maka saatnya Mahen beraksi
dan menjawab soal matematika yang ditulis di papan tulis itu dengan cepat dan
benar. Ternyata, betul kata guru dan teman-temannya. Bahwa Mahen sangatlah
pintar, itulah yang mebuat dia menjadi idola di sekolah. Saat ini sudut pandang
Ema tentang Mahen langsung berubah dan dia bersyukur dan bangga bisa memiliki
Mahen sebagai pacarnya. Dia menemukan banyak pelajaran dalam memaknai hidup
dari sosok Mahen. Ternyata, betul kata almarhum ayahnya yang mengatakan jangan
pernah menilai seseorang dari tampilan luarnya.
***
Bell istirahat
berbunyi, seluruh siswa-siswi berhamburan keluar dari kelas untuk mengisi
perutnya yang kelaparan.
“Ema, kekantin
yok,” ajak Kirana.
“Gue ga ke
kantin keknya, Ki,” jawab Ema.
“Kenapa?” tanya
Kirana.
“Gue bawa nasi
goreng. Sebenarnya ini buat Mahen, tapi cukup bertiga kok,” sambil melirik
Mahen.
“Cie-cie,
yaudah deh. Gue ke kantin aja.”
“Tunggu dulu,
Ki. Lo ga mau bilang selamat gitu?” lanjut Mahen.
“Selamat buat
apa? Kalian jadian?” tanya Kirana.
“Iya,” jawab
Mahen.
“Wah, selamat
ya Em. Gue senang akhirnya lo bisa pacaran sama sepupu gue. Gue ga kaget sih
soalnya gue udah pernah bilang hati-hati sama Mahen ntar lo naksir. Tapi udahlah,
gue senang lihat kalian berdua. Satu lagi jan lupa traktirannya. Kalo gitu, gue
ke kantin ya. Selamat menikmati nasi goreng cintanya!”
“Ki, disini aja
…” teriak Ema.
“Oh, jadi ini
alasannya kenapa kamu lama datang?”
“Iya, tadi aku
putar balik ke rumah karena lupa bekalnya. Padahal, aku udah nyiapin semuanya
dengan baik,” ucap Ema.
“Makasih, ya,”
senyum Mahen sembari mengusap kepala Ema.
“Hen, kamu suka
sosis kan?” tanya Ema.
“Bisa ga sih,
sekarang itu panggilnya sayang,” ucap Mahen sembari menatap Ema.
Ema tersenyum
dengan pipi yang merona.
“Suka ga?”
tanya Ema lagi.
Mahen hanya
diam dan menatap Ema dengan sedikit kesal.
“Bilang sayang
ga!”
“Iya sayang,”
balas Ema sembari tersenyum.
“Nah, gitu dong.”
“Suka sosis
kan?”
Mahen
mengangguk, Ema kemudian dengan reflek menyuapi Mahen. “Ini, cobain.”
“Aaaa,” Mahen
membuka mulutnya lebar.
“Enak ga?”
tanya Ema.
“Enaklah,
karena yang buatin kan kamu sayang,” senyum Mahen.
“Aku ga
nyangka, seorang Mahen ternyata bucin juga!”
“Husst, jan
ribut. Bucinnya kan ke orang yang aku sayang aja,” jawab Mahen.
“Iya deh,
serah,” sambung Ema.
Tak sengaja,
Purba lewat di depan kelas Ema dan melihat Ema sedang menyuapi Mahen, dia
kemudian mengirimi Ema pesan chat.
Bunyi pesan chat masuk terdengar di
hp Ema. Ema kemudian membacanya.
Purba:
Pulang sekolah ikut gue kalo lo mau tau tentang
kecelakaan ayah lo. |
“Siapa Em?”
tanya Mahen.
“Bukan
siapa-siapa kok,” jawab Ema.
Mahen
mengangguk tanpa kecurigaan sama sekali.
“Pulang sekolah
nanti ikut aku ya,” pinta Mahen.
“Maaf, Hen. Aku
ada urusan penting banget tentang keluarga. Jadi, aku ga bisa. Lain kali aja
ya,” pinta Ema.
Mahen
mengangguk “Ok, lain kali aja.”
“Makasih, Hen.”
“Coba ulang,
bilang makasih apa?”
“Makasih,
sayang,” ucap Ema sembari tersenyum.
“Nah, ini baru
bener,” senyum Mahen.
“Ngapain lo
disini?” tanya Putri yang melihat Purba sedang mengintip di depan pintu kelas
Ema. Karena dapat teguran, segera Purba pergi dari situ.
***
Sepulang
sekolah, Ema ikut dengan Purba dia sangat penasaran apa yang ingin dikatakan
Purba terkait dengan kecelakaan ayahnya dua tahun lalu. Tapi, sebelum Purba
membawa Ema ke suatu tempat, mereka singgah di salah satu toko yang menjual
perlengkapan olahraga baseball, dia
ingin membeli stick baseball.
“Kita mau
kemana sih, Ba?”
“Lo percaya
sama gue, kita singgah dulu beli stick
baseball”
“Buat apa?”
tanya Ema.
“Ya, buat di
pake olahraga lah, Em.”
“Oh, jadi lo
suka main baseball?”
“Iya, tiap
minggu gue latihan baseball.”
“Hmm,” gumam
Ema.
Mobil sedan
hitam milik Purba kemudian berhenti di depan sebuah toko.
“Lo mau ikut
gue masuk ke dalam atau lo tunggu gue di mobil?”
“Gue ikut, Ba.
Sekalian mau ijin ke Wc, dari tadi gue pengen buang air kecil.”
Ema dan Purba
kemudian turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam toko itu. Setelah 10
menit berlalu. Mereka keluar dari toko.
“Ren gue ga
salah lihat kan? Itu Ema bukan?” ucap Resi, melihat Ema masuk ke dalam mobil
sedan hitam.
“Iya, itu Ema.
Sama siapa dia?” tanya Karren.
“Ren, ada Purba
juga. Ngapain mereka berdua?” kaget Resi, yang melihat Purba keluar dari toko
berjalan menuju mobil sedan hitam itu.
“Iya itu Purba,
video in Res!”
“Ikutin mereka,
Res. Ga salah lagi pasti mereka memiliki hubungan. Kok bisa pas banget ya, gue
ga capek-capek lagi buat nyusun rencana ngejatuhin Ema di mata Mahen”
Karren dan Resi
mengikuti mobil sedan itu hingga sampai ke sebuah rumah mewah dan besar.
“Ini kan rumah
Purba?” ucap Resi.
“Gila, itu Ema
bener-bener kegatelan. Semua idola di sekolah kita diembat semua,” ucap Karrem
kesal.
“Gila sih,
yaudah Res. Keknya ini udah cukup bukti buat menjauhkan Ema dari Mahen”
Ema mengikuti
Purba yang berjalan menuju sebuah gudang di belakang rumahnya. Gudang itu
dulunya adalah tempat ayahnya melukis, ayahnya sangat senang melukis, Dalam
gudang itu juga berisi beberapa barang peninggalan ayahnya. Seperti, pakaian
dan foto-foto lama milik ayahnya.
Ema kemudian
tertarik dengan salah satu foto yang di dalam foto itu ada ayahnya, Arya
Permana dan Erik Sudrajat. Ema kaget dan menjatuhkan foto itu, sambil menahan
nafas. “Jangan-jangan Purba ini adalah anak dari Erik sudrajat.”
“Lo sebenarnya
siapa?” tanya Ema dengan nada yang terdengar gemetar kemudian sedikit menjaga
jarak dari Purba.
“Tenang, Em.
Gue anak dari Arya Permana,” senyum Purba sembari mengambil foto yang
dijatuhkan oleh Ema.
Ema menarik
nafas lega, ternyata Purba adalah anak dari Pak Arya Permana.
“Lo anak Pak
Arya? Tunggu dulu, bukannya dalam kecelakaan itu cuma ada ayah gue dan ayah lo.
Trus, waktu di panti lo bilang, ibu lo meninggal karena kecelakaan?”
“Ga, ibu gue ga
kecelakaan. Tapi, saat ini masih tahap penyembuhan karena gangguan jiwa yang
dideritanya pasca ayah meninggal karena kecelakan. Lo tau semua ini karena ulah
Pak Erik, dia harus bertanggung jawab atas semua penderitaan ini,” Purba
berusaha menahan amarahnya.
“Sejak kapan lo
tau kalo gue anak dari Agus Pranawingrum?”
“Sejak lo masuk
ke SMA Nusa Bangsa. Gue udah lama mencari tau informai siapa keluarga dari Pak
Agus Pranawingrum dan takdir membawa kita bertemu di sekolah yang sama. Gue
yang telah meminta Kirana untuk mengajak lo ke perpustakaan, di sana gue
membuka kembali foto keluarga Agus Pranawingrum untuk meyakinkan diri saya
bahwa siswi baru itu adalah anak dari Agus Pranawingrum dan benar saja lo emang
anak dari Agus Pranawingrum. Gue udah lama ingin balas dendam kepada Pak Erik,
karena dia ayah kita meninggal dunia, karena dia kita merasakan penderitaan
seperti ini, dia yang telah merencanakan pembunuhan itu karena ingin menguasai
perusahaan Tridaur,” cerita Purba.
“Jadi,
kecelakaan itu telah direncanakan?” tanya Ema, selama ini dia juga yakin bahwa
ke celakaan ayahnya dua tahun lalu itu telah direncanakan dan dia yakin bahwa
Pak Erik lah dibalik kecelakaan itu.
“Iya, Em. Gue
pengen lo bantuin gue buat balas dendam atas semua penderitaan ini,” ucap
Purba.
Ema mengangguk
kemudian bertanya. “Ba, gue pernah lihat Pak Erik di sekolah. Itu sebenarnya
dia ada hubungan apa dengan sekolah kita? atau jangan-jangan dia punya anak
yang juga sekolah di SMA Nusa Bangsa?”
“Betul, Em. Pak
Erik punya anak yang juga sekolah di SMA Nusa Bangsa!”
“Siapa, Ba?”
tanya Ema, dengan pikirannya yang mulai menebak-nebak siapa orang itu.
“Mahen …” sebut
Purba dengan jelas.
Mendengar hal
itu, Ema shock dan tak bisa berkata
apa-apa, seolah sebuah peluru telah menembus dadanya. Mana mungkin, orang itu
adalah Mahen? Dia berusaha menolak fakta yang disampaikan oleh Purba barusan.
Hatinya hancur berkeping-keping, rasanya sakit. Bagaimana bisa orang itu adalah
Mahen? Orang yang saat ini membuat hatinya berbunga-bunga, orang yang saat ini
dia cintai, orang yang dia harap merubah kehidupannya, orang yang dia harap
telah membawa warna baru dalam hidupnya. Tapi ternyata, dia adalah anak dari
orang yang telah membuat hidupnya menderita.
Sungguh, rasanya dunia tidak adil, pandanganya terasa gelap membuatnya
hampir saja terjatuh.
“Ga, mungkin …”
tangis Ema yang mulai pecah dan membuatnya tersungkur ke lantai.
Ema kemudian
berdiri dan ingin berlari keluar dari tempat itu dengan air mata yang sudah
mengalir dengan derasnya. Namun, langkahnya ditahan oleh Purba dan dia
mengatakan sesuatu kepada Ema.
“Gue harap, lo
ga menaruh perasaan kepada Mahen dan kalaupun ada gue harap lo hentiin dan
fokus kepada balas dendam atas semua penderitaan ini”
Setelah
mendengar hal itu, dia kemudian berlari keluar dari rumah Purba dengan perasaan
hancur lebur. Ema naik ke sebuah taksi. “Neng, mau kemana?” tanya supir taksi.
Namun, Ema tidak menjawab pertanyaan itu karena saat ini di kepalanya seperti
benang kusut susah untuk diluruskan.
“Neng,” panggil
supir taksi lagi.
“Iya pak, lurus
aja,” ucapnya lirih.
Supir taksi itu
mengangguk, seolah dia paham dengan masalah yang saat ini dihadapi
penumpangnya.
Ema saat ini
tidak tau mau curhat kemana, rasanya gelap tanpa cahaya, tanpa jalan keluar.
satu-satunya sahabat yang dia punya yaitu Kirana juga terancam hubungannya
hancur dikarenakan Kirana adalah sepupu dari Mahen, tidak mungkin dia bercerita
kepada Kirana.
Setelah
beberapa menit akhirnya Ema turun di depan club
malam, dia berniat untuk menghilangkan masalahnya dengan mabuk. Setelah
membayar ongkos taksinya, dia perlahan melangkahkan kakinya. Tapi, kakinya
gemetar dia tidak berani. Baru kali ini dia pergi ke tempat seperti ini, dia
tidak yakin dengan apa yang dia lakukan.
Ema kemudian
memutar balik badannya dan berencana meninggalkan tempat itu. Tapi sialnya, dia
bertemu dengan beberapa orang preman yang ada di sekitaran tempat itu. Ema mempercepat
langkahnya, Namun ketiga preman tersebut mulai mengejar Ema. Sambil tertawa, ketiga
preman tersebut merasa seolah mendapatkan durian runtuh. Ema saat ini tidak
bisa kemana-mana lagi, karena di depannya adalah jalan buntu. Salahnya dia,
lari ke dalam gang-gang sempit.
“Neng, mau
kemana?” tanya salah satu preman. Ema yang mendengar itu mulai ketakutan,
rasanya seperti mimpi buruk harus bertemu dengan ketiga preman tersebut.
Ema sangat
ketakutan. “Kalian mau apa?”
“Lah, malah
nanya dia ha ha,” jawab salah satu preman sambil tertawa.
“Kami mau tubuh
lo yang seksi itu neng,” celetuk preman yang lain, kemudian memulai aksinya
ingin memeluk Ema yang saat ini terpojok dan ketakutan sehingga membuatnya
susah untuk berbicara. Tapi, tiba-tiba bogem mentah melayang ke wajah preman
itu, membuatnya terlempar. Ema, tidak sempat melihat orang yang
menyelamatkannya karena tiba-tiba pingsan dan tempatnya juga gelap. Setelah
perkelahian itu, Pram membangunkan Ema. Ternyata, Pram-lah yang datang sebagai
penolong Ema saat ini.
“Em, bangun.”
Pram berusaha menyadarkan Ema.
“Pram …” Ema
kaget, kemudian reflek memeluk Pram, dia sangat bersyukur tidak diapa-apain
oleh ke tiga preman itu berkat Pram.
“Makasih,
Pram.” Tangis Ema pecah, dia tidak bisa membayangkan jika saja Pram terlambat
datang, maka hancurlah hidupnya.
“Iya, Ema. Lo
sekarang aman sama gue. Ayo bangun, sini gue anterin balik ke rumah lo!”
Ema berdiri,
saat ini dia mulai bingung. “Pram kok tiba-tiba baik begini ya?” Pasti, dia
merencanakan sesuatu lagi,” Ema mulai curiga dengan Pram. Tapi, agaknya
berlebihan jika harus menuduh Pram seperti itu, harusnya dia berterima kasih
karena sudah ditolongin. Lagian juga, dia harus segera pulang ke rumah untuk
menyembuhkan jiwanya yang terguncang karena Mahen dan preman-preman itu.
“Em, gue
anterin lo balik ya?” tanya Pram lagi.
Ema mengangguk,
dia tidak ada pilihan lain selain menerima tawaran itu. Ema akhirnya naik ke
mobil Pram.
“Em, kok lo
bisa berada di daerah sini?” tanya Pram yang juga penasaran.
Ema bingung mau
jawab apa, dia memilih diam.
Karena tidak
mendapatkan jawaban, Pram mulai paham bahwa Ema saat ini mungkin trauma dengan
kejadian tadi.
Kalo kita
lihat, Pram sifatnya melunak jika mulai jatuh cinta. Pram juga sadar dengan hal
itu, momen ini betul-betul menjadikannya sebagai pahlawan yang dia harap Ema
akan memeperhitungkannya. Pram, mulai tersenyum puas.
Tak lama
kemudian mereka sampai di depan rumah Ema dan Pram menyadarkan Ema dari
lamunannya. “Em, kita udah nyampe”.
“Yaudah, Pram.
Terimah kasih ya, lo udah nolongin gue,” ucap Ema.
“Iya, Em,”
Ema tampaknya
masih shock dengan kejadian tadi ditambah saat ini dia sangat sakit
hati, dia tidak mendengar Pram memanggilnya.
“Ema, gue mau
ngomong sesuatu,” panggil Pram lagi.
“Iya, kenapa,
Pram?”
“Gue suka sama
lo, Em. Gue sayang sama lo.”
Mendengar hal
itu, Ema seolah mati rasa. Apalagi saat ini dia sedang patah hati sangat berat.
Pengakuan Pram sama sekali tidak ada harganya di kondisi seperti ini. Mungkin,
Pram merasa ini adalah waktu yang romantis, tapi tidak buat Ema.
“Yaudah, gue
masuk ya, Pram!”
Pram sedikit
tercengang dan kecewa dengan jawaban Ema yang tak nyambung itu, dia merasa
tidak bernilai sama sekali di mata Ema. Pram kemudian memukul stir mobilnya
saat melihat Ema masuk ke dalam rumah.
Ema menjatuhkan
dirinya di ranjang kemudian menangis sejadi jadinya, dia tidak bisa menerima
kenyataan bahwa orang yang dia cintai saat ini adalah anak dari orang yang
menghancurkan keluarganya. Tak lama kemudian, suara panggilan masuk terdengar
dari Hp-nya. Dilihatnya, itu adalah panggilan masuk dari Mahen.
Dia tidak
mengangkat telpon itu. Walaupun hatinya ingin. Tapi, akalnya benar-benar
menolak. Kini, perkelahian antara hati dan akalnya bergejolak dalam dirinya.
Mahen yang saat
ini baru sampai di gerbang rumah Ema menatap ke arah jendela Ema.
“Em, gue ada di
bawah. Lo dimana? Kenapa ga ngangkat telpon gue?” Mahen mencoba cara lain
setelah telponnya tidak di angkat dia memutuskan mengirim chat ke Ema.
Ema tidak
menghiraukan hal itu. Tapi, dia tetap berusaha melihat Mahen di balik jendela
kaca rumahnya dengan air matanya yang sedari tadi menetes.
Karena tidak
ada balasan dari Ema. Mahen memutuskan untuk menunggu beberapa menit berharap
Ema lihat panggilannya. Tapi, tampaknya Ema sudah tidur. Mahen memutuskan
kembali ke rumah, dia merasa ada yang aneh dengan Ema. Sepanjang hari, Ema
tidak mengabarinya dan dia juga ingin meminta penjelesan terkait video
yang dikirim Karren kepadanya. Tapi, dia memutuskan untuk tidak mempertanyakan
hal-hal seperti itu, karena Mahen tau betul bahwa Purba memiliki perasaan
kepada Kirana yang telah lama dia pendam juga, sama seperti Kirana. Mahen tau
bahwa Karren berencana untuk memisahkannya dengan Ema.
***
No comments
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bijak