Pemikiran Muhammad Husain al-Tabataba’i
Muhammad Husain al-Tabataba’i. Dok: Wikipedia

  ‘Allamah Ṭabāṭabā’i dilahirkan pada tanggal 29 Dzulhijjah 1321 H dengan nama al-Sayyid Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā’i Ibn al-Sayyid Muḥammad Ibn Muḥammad Ḥusain Ibn al-Mirza Ali Asghar Syaikh al-Islam al-Ṭabāṭabā’i at-Tabrizi al-Qadhi. Ia lahir di desa Shadegan di provinsi Tabriz, Iran (sebelumnya Persia). Ṭabāṭabā’i berasal dari keluarga Sayyid (keturunan Nabi Muammad) melalui jalur Ja’far Ṣadiq. Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan ulama yang taat dan memiliki pengetahuan yang kuat.

     Selama empat belas generasi, keluarganya telah melahirkan ulama terkemuka di berbagai bidang ilmu. Ayahnya bernama Muḥammad, yang merupakan seorang ulama terkenal di berbagai wilayah di Iran dan merupakan keturunan dari ulama terkemuka bernama Mirza Ali Ashgal Syaikh al-Islam, seorang tokoh terhormat di Tabriz. Kakeknya, al-Sayyid Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā’i, adalah salah satu murid terbaik dari penulis al-Jawāhir dan Syaikh Musa Kasyif al-Ghita. Ṭabāṭabā’i memiliki warisan ilmu yang kuat. Kakek buyutnya, Abd al-Wahhab Hamdani, lahir dan dibesarkan di Samarkand, adalah putra dari Sayyid Najm al-Din Abd al-Ghaffar Ṭabāṭabā’i, seorang ulama yang dikenal sebagai Syaikhul Islam di Tabriz. Setelah kematian ayahnya, Abd al-Wahhab Hamdani mengambil posisi ayahnya tidak lama sebelum Dinasti Safawi menggantikan al-Qoyunlu pada tahun 907 H/1501 M.[1]

    al-'Allamah al-Sayyid Muḥammad Ḥusain al-Ṭabāṭabā’i belajar selama sepuluh tahun di Najaf dengan menyelami berbagai sumber ilmu pengetahuan. Ia menguasai berbagai bidang seperti fiqh, tasawuf, irfani, filsafat, dan lain-lain. Pada tahun 1354 H, Ṭabāṭabā’i mencapai tingkat ijtihad, kemudian ia kembali ke kota kelahirannya, yaitu Tabriz. Setelah kembali, selama sepuluh tahun ia beralih menjadi petani, mengalami periode jauh dari aktivitas intelektual dan dunia pemikiran. Pada hari Minggu, tanggal 18 Muharram 1402 H, sekitar pukul 9 pagi, Ṭabāṭabā’i wafat pada usia 81 tahun. Ia dimakamkan di Masjid al-Asr Haram Hadrat Maksumah Ra.[2]

    Pemikiran Ṭabāṭabā’i sangat dipengaruhi oleh berbagai guru yang telah memberikan pengajaran kepadanya. Dalam bidang ilmu tekstual, ia belajar dari Mirza Muammad Husain Na’ini An-Najaf al-Asyraf dan mendapatkan pengajaran dari Syekh Muammad Husain Isfahani, yang merupakan putra Syaikhul Islam al-Mirza Abdurrahim. Melalui bimbingan para guru ini, ia berhasil mencapai tingkat mujtahid yang sempurna dan mendalaminya dalam ilmu makrifat. Ia diberi gelar al-‘Allamah, yang menggambarkan kejeniusannya, oleh para cendekiawan dan tokoh pada masanya.

     Dalam bidang matematika tradisional, Sayyid Abdul Qasim Khunsari menjadi salah satu gurunya yang memberikan ilmu dan arahan. Di bidang filsafat dan metafisika Islam, ia dibimbing langsung oleh Sayyid Husain Bad-Kubai. Sedangkan di bidang etika dan spiritual, ia mendapatkan pendidikan dari keluarganya sendiri, yaitu Sayyid Ali Agha abāṭbā’i, seorang ulama yang hingga saat ini memiliki sekolah etika. Semua pengajaran dari para guru ini telah memberikan otoritas yang sangat dihormati pada Ṭabāṭabā’i dalam studi keagamaan seperti fiqih dan dasar-dasarnya. Disinyalir bahwa prestasi akademiknya diperkuat oleh reputasinya sebagai seorang filosof dan sekaligus insan spiritual, religius, dan mistis yang mencapai dimensi yang transenden.[1]

     Dalam menyelidiki karya-karya para pendahulunya seperti Ash-Shifā bi Ta‘rīf Huquq al-Muṣṭafa karya Ibnu Sina, al-Ḥikmah al-Muta‘āliyyah fī Asfār al-‘Aqliyyah al-Arba‘ah karya Mulla Sadra, dan Tamhīd al-Qawā‘id karya Ibnu Kurkah, Ṭabāṭabā’i mendapat bimbingan langsung dari Sayyid Bad-Kubai. Dia juga adalah salah satu murid dari ulama besar Tehran saat itu, yaitu Sayyid Abu al-Hasan Jelwah dan Agha Ali Mudarris Zununi. Pada tahun 1354 H, Ṭabāṭabā’i mencapai derajat ijtihad, dan kemudian ia kembali ke kota kelahirannya di Tabriz. Pada masa perang dunia II, Faham Marxisme menjadi pandangan populer di kalangan generasi muda di Tehran. Ṭabāṭabā’i mencoba menyajikan pemikiran Islam untuk menyembuhkan kebobrokan moral para generasi muda tersebut. Ia dengan tekun mempelajari dasar pemikiran filsafat komunisme, yang kemudian diolah menjadi buku berjudul Usul e Falsafeh va Rawesh e Realism. Buku ini menjadi acuan pengajaran dan panduan bagi generasi muda di Hauzah Qom.[2]

     Muammad usain al-Ṭabāṭabā’i juga mulai mengajar al-Asfār Mulla Sadra, yang pada saat itu dianggap kontroversial oleh beberapa ulama, termasuk ‘Allamah Burujerdi. Meskipun ada ancaman akan memotong beasiswa murid-muridnya, Ṭabāṭabā’i tetap bertekad untuk melanjutkan pengajaran filsafat tersebut. Meskipun beberapa ulama khawatir tentang pengajaran filsafat yang dianggap berbahaya, Ṭabāṭabā’i yakin bahwa generasi muda di hauza membutuhkan pemahaman tersebut untuk menghilangkan keragu-raguan mereka dan melawan materialisme. Meskipun mendapat tantangan, Ṭabāṭabā’i tetap teguh dalam pendiriannya dan melanjutkan pengajaran filsafatnya, dan akhirnya, Ayatullah Burujerdi menghormatinya dan memberikan hadiah Al-Qur’an yang mewah sebagai tanda penghargaan.[3]

     Karya yang paling penting dari Muammad usain Ṭabāṭabā’i adalah al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān, yang terdiri dari 20 jilid. Selain itu, ia juga menulis karya lain seperti Ushul-e Falsafeh wa Rawesy-e Realism (Prinsip-Prinsip Filosofi dan Doktrin Realisme) dalam 5 jilid, yang merupakan studi perbandingan antara filosofi Islam dan berbagai mazhab pemikiran anti-Islam, terutama marxisme, dengan catatan pinggir atas al-Ḥikmah al-Muta‘āliyyah fī Asfār Al-‘Aqliyyah al-Arba’ah yang dianggap sebagai penafsiran paling modern terhadap karya besar Mulla Sadra. 

    Selain itu, ada juga karya lainnya seperti Mushahabeh ba Ustad Corbin yang berisi tanya jawab antara Ṭabāṭabā’i dan Henry Corbin tentang fundamental dalam Islam dalam 2 jilid, Qur’ān dar Islām atau Kedudukan Al-Qur’an dalam Islam, serta 96 buah esai dan buku lainnya. Kegigihannya dalam mengajar filsafat di Hauzah Qom, Iran, telah menyebabkan bidang filsafat yang sebelumnya kurang populer di kota itu menjadi sangat dihormati hingga saat ini, setara dengan Fiqh dan Ushul Fiqh.

     Demi konsentrasinya dalam mengajar, ia rela mengorbankan karir fiqihnya dan tidak menyandang gelar Marja seperti rekan-rekan sejawatnya. Dedikasi mengajarnya telah melahirkan para pemikir dan ulama yang mengembangkan studi Irfan, Filsafat Politik, Tafsir, dan bidang-bidang lainnya. Beberapa di antaranya adalah Ayatullah Jawadi Amuli, Ayatullah Murthada Muthahhari, Ayatullah Mehdi Haeri Yazdi, Ayatullah Muammad Taqi Mishbah Yazdi, Ayatullah Ali Khamenei, Ayatullah Ibrahim Amini, Prof. Dr. Henry Corbin, Prof. Dr. Sayyed Hossein Nasr, Prof. Dr. William Chithick, dan lain-lain.[4]

     Dari penjelasan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa lahirnya pemikiran-pemikiran Muammad usain al-abāṭabā’i yang sangat berpengaruh dalam dunia Islam dilatar belakangi oleh berbagai faktor: Pertama, pendidikan dan pengetahuan Luas: Ṭabāṭabā'i adalah seorang cendekiawan Muslim yang memiliki pengetahuan yang luas tentang berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat, teologi, tafsir Al-Qur’an, dan ilmu-ilmu lainnya. Pendidikannya yang mendalam memungkinkannya untuk memiliki pandangan yang komprehensif tentang berbagai perspektif dan pandangan. Kedua, pengaruh filsafat Mulla Sadra. Ṭabāṭabā'i sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Mulla Sadra, seorang tokoh filosof besar dalam tradisi filsafat Islam. Filsafat transendental Mulla Sadra yang menekankan tentang eksistensi dan hubungan manusia dengan Tuhan berpengaruh besar dalam pandangan Ṭabāṭabā'i tentang pluralisme. Ketiga, kajian tafsir Al-Qur’an, sebagai seorang ahli tafsir Al-Qur’an, Ṭabāṭabā'i melakukan analisis mendalam terhadap teks suci Islam. Dalam kajian tafsirnya, ia mencari pemahaman yang mendalam tentang pesan-pesan universal dalam Al-Qur’an dan bagaimana pesan-pesan tersebut relevan dalam konteks sosial dan sejarah. Keempat, konteks sosial-politik, Ṭabāṭabā'i hidup dalam lingkungan sosial-politik yang kompleks, di mana berbagai kelompok dan pemikiran agama berinteraksi. Kehidupan masyarakat Iran pada masanya, termasuk masalah pluralisme dan interaksi antar-agama, mempengaruhi pemikiran Ṭabāṭabā'i tentang pluralisme.

Referensi:
[1] Fatimah, Iwan, “Manhaj Tafsir Al-Mizan Fi Tafsir Al-Qur’an Karya Muhammad Husain Tabataba’i,” dalam Jurnal Iman dan Spritualitas, 43-44.
[2] Muhsin Labib, Para Filosof (Jakarta: Al-Huda, 2005), 260.
[3] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2003), xx. Lihat Juga, Allamah Ayatullah Sayyid Muhammad Husain Husaini Teharani, Mir-e Taban (Teheran: Baqir Al-Ulum), 60-62.